Sabtu, 11 Februari 2017

24 Jam Lebih Dekat dengan Masyarakat Lanna-Thai


Malam itu mobil yang kami tumpangi langsung menuju ke arah kota Chiang Mai. Perjalanan dari Bangkok ke kota Chiang Mai kurang lebih menghabiskan waktu 10-12 jam menggunakan mobil.  Pertama kali menginjakkan kaki di Bangkok, highway  terlihat bersliweran di mana-mana. Ya tidak jauh berbeda dibandingkan Jakarta. Hanya saja yang patut diacungi jempol, jalan raya (mungkin bisa dibilang jalan antar provinsi) dari ujung selatan hingga utara bisa dibilang mulus layaknya jalan tol. Sepanjang jalan masih banyak lahan-lahan rerumputan kosong. Tapi anehnya juga di beberapa jalan terdapat beberapa kantor atau bangunan pabrik. Sebenarnya saya belum cari tahu juga sih bagaimana. Jika dibandingkan dengan di Indonesia, bangunan pabrik atau industri biasanya berada di tempat yang strategis dan berada di kawasan industri (yang seharusnya tidak terlalu dekat dengan pemukiman penduduk). Akan tetapi ada bangunan industri juga yang berada di tengah-tengah lahan/sawah dan belum ada bangunan lain di sekitarnya (sepi juga ya).

Semakin menjauh dari kota Bangkok, hawa sejuk dan dingin mulai terasa. Chiang Mai berada di Thailand bagian utara, hampir berbatasan dengan negara tetangga yaitu Myanmar. Mungkin karena pengaruh letak geografis, udara di Chiang Mai juga terasa lebih sejuk dibandingkan dengan wilayah Thailand bagian selatan seperti Bangkok yang panasnya hampir sama seperti Jakarta J.  Iklim di Thailand sendiri ternyata ada 3 macam yaitu musim panas, musim dingin, dan musim hujan J. Di periode tertentu di beberapa tempat di Chiang Mai , jika Anda beruntung Anda bisa melihat kecantikan cherry blossom. Cherry blossom juga ada di negeri Gajah Putih lho !

Tidak jauh dari kota Chiang Mai, kami menuju sebuah perkampungan yang bernama Ban Luang Nuea (Ban artinya rumah). Kami disambut oleh community tersebut kemudian diajak menuju salah satu bangunan. Bangunan tersebut adalah gambaran rumah tradisional Thailand. Mereka lengkap menggunakan baju khas dan penutup kepala berwarna putih. Sesepuh di community tersebut kemudian menyambut kami dengan upacara mini dan penyematan gelang yang disertai dengan do’a-do’a.
Bracelet and Lee-la-wa-dee / ลีลาวดี (kamboja)

Kami dibagi menjadi beberapa homestay. Kebetulan saya dan beberapa teman mendapat homestay milik Lung Ai. Beliau terlihat sangat humble dan ramah. Kami diajak berkeliling kebun dan melihat lingkungan sekitar. Tidak jauh dari rumah Lung Ai juga terdapat loco market. Uniknya dari info Phi Bo, Loco market hanya buka setiap Rabu siang atau sore.  Malam hari kami makan malam bersama host family. Rumah Lung Ai ini cukup unik. Di bagian kamar mandi masih terdapat wadah air yang terbuat dari kayu. It’s traditional style. Dapur di rumah Lung Ai juga masih berupa bangunan kayu yang ditata rapi dan cantik. Hampir sebagian besar rumah di Thai Lanna berupa rumah panggung seperti rumah adat daerah Sumatera. Kalau dari penjelasan Phi,  bentuk rumah tersebut juga bisa bermanfaat untuk menghindari serangan binatang buas dan banjir (mungkin ini di zaman dahulu). Tapi jika dilihat saat ini model  bangunan berupa rumah panggung sangat bermanfaat untuk dijadikan gudang penyimpanan perkakas atau barang lainnya. Kembali ke suasana malam hari bersama host family. Kami berbagi makanan dan cerita dengan Lung Ai sebagai host family. Namun  jangan dikira semua host family bisa berbahasa inggris. Bahkan mendapat homestay yang paham makna eat , drink, toilet,  atau sleep saja sudah bersyukur (hehe karena itu kebutuhan pokok sehari-hari). The power of kepepet nya adalah bahasa isyarat. Kami menanyakan beberapa istilah benda dalam bahasa Thailand juga sambil menggunakan bahasa isyarat. Hihi lucu juga ya.  

Salah satu model rumah di Ban Luang Nuea (dokumen pribadi)


Dapur cantik dan tradisional (dokumen pribadi)

         Suasana pedesaan di Thailand mungkin tidak jauh berbeda dibandingkan dengan suasana pedesaan di Indonesia. Kebetulan di kampung tersebut masih banyak sawah, kebun, dan peternakan yang cukup luas. Dari cerita Phi Bo, Raja Thailand memiliki salah satu teori yang disebut sufficient (yang berarti cukup). Dari ajaran tersebut, penerapannya salah satunya dalam memanfaatkan tanah tempat tinggal. Tanah tempat tinggal sebaiknya dibagi untuk beberapa fungsi diantaranya tanah untuk mendirikan bangunan, tanah untuk beternak, tanah untuk bercocok tanam, dan tanah untuk menampung atau menyimpan air. Di tempat menyimpan air, mereka juga bisa sambil memelihara ikan atau hewan lain yang bermanfaat. Yah memang tidak jauh beda dengan negara kita. Hanya saja yang membuat kagum adalah masyarakat di sana paham betul dasar dari hal mereka lakukan, salah satunya karena memang saran dari Sang Raja. Organic farming juga sudah diterapkan dibeberapa tempat. Salah satu contohnya yaitu pemanfaatan tanaman untuk pengganti insektisida dari bahan kimia. Ada banyak tanaman yang dimanfaatkan, contohnya seperti lemon grass, basil (kemangi), dan tanaman cabai. Kalau dilihat dari kandungannya memang tanaman-tanaman tersebut banyak mengandung minyak atsiri yang biasanya bermanfaat sebagai insektisida alami (jadi teringat mata kuliah kimia produk alam hehe).

Good Morning from Thai Rice Field :)  

     Keesokan harinya kami diajak memasak beberapa hidangan untuk sarapan. Kami membuat semacam tumis ayam dan jamur kuping. Rempah-rempah yang digunakan sebenarnya mirip dengan yang ada di Indonesia. Hanya saja bawang bombay dan jahe melimpah ruah. Dalam hidangan mereka juga biasa menambahkan cairan semacam kecap ikan atau campuran kaldu. Tidak lupa motto juga digunakan untuk menambah rasa sedap. Yang membuat kaget , ternyata mereka menyebut vetsin dengan istilah “motto” juga :D. Selain makanan besar, kami juga disuguhi cemilan atau jajanan. Mungkin karena masih di Asia Tenggara, beberapa jajanan dan hidangan ada yang mirip dengan makanan di Indonesia. Sebut saja kolak, onde-onde atau roti goreng, semacam lemper, es tebu, dan masih banyak lainnya. Hanya saja saya belum dapat kesempatan makan Tom Yum di negara asalnya langsung nih. But, nope, masih ada Tom Fat Khai (Tom Fat Khai adalah makanan sejenis sup ayam. Tom dalam bahasa Thailand artinya sup) yang tak kalah sedapnya J.

Tom Fat Khai, lengkap dengan saus asamnya, (dokumen pribadi)

         Masyarakat di Ban Luang Nuea ternyata bisa dibilang sudah cukup mandiri dan memiliki jiwa entrepreneurship. Kami diajak mengunjungi salah satu pusat kerajinan wooden doll dan sempat belajar berkreasi di ban wooden doll (boneka kayu). Eits tapi bukan pinokio yang akan dibuat ya. Pak pemilik wooden doll banyak membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat di sekitarnya. Dan yang patut diacungi jempol, beliau adalah lulusan dari fakultas seni di salah satu universitas di Chiang Mai. Jadi keahlian yang beliau punya sangat terasa manfaatnya bagi masyarakat sekitar. Jika dibandingkan dengan background beliau, pendidikan, penelitian, dan pengabdiannya sangat nyata untuk masyarakat sekitar. Mungkin kalau banyak lulusan sarjana yang kreatif seperti beliau, menjadi entrepreneurship yang tetap berorientasi pada kepentingan social maka negara akan makmur. Sebab menurut studi, hampir sebagian negara maju memiliki jumlah entrepreneur yang cukup banyak. Penerapan sociopreneurship di beberapa negara maju meningkatkan kesempatan kerja secara signifikan. Di Amerika, jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor ini mencapai 6,8 %, Prancis 4,2 %, dan Jerman 3,7 % (OECD, 1998, p.114). Indonesia ? Di tahun 2007, baru ada sekitar 0,18 % masyarakat Indonesia yang berkarya sebagai entrepreneur.  Namun tidak semua entrepreneur adalah sociopreneur. Untuk penjelasan lebih lengkap mengenai sociopreneurship teman-teman bisa membacanya di link berikut  http://adina-twins.blogspot.co.id/2015/10/social-entrepreneur-agen-of-social.html.

Owner of Wooden Doll  (dokumen pribadi)

        Tidak jauh dari Ban Wooden doll, kami juga belajar membuat handycraft lain. Uniknya kerajinan ini terbuat dari tanaman mulberry yang diproses, diolah dengan pengeringan dan bantuan mesin sehingga diperoleh bahan semacam bubur kertas. Bubur kertas ini yang digunakan sebagai bahan dasar mulberry paper artwork.  Ketika mendengar mulberry saya jadi teringat salah satu tempat di daerah kota kelahiran saya. Di sana terdapat daerah yang dipenuhi kebun tanaman mulberry untuk budidaya ulat sutera. Daun mulberry menjadi santapan lezat bagi ulat sutera (silkworm). Kepompong ulat sutera digunakan sebagai bahan dasar untuk benang dan kain sutera yang harganya bisa berlipat-lipat dibanding kain jenis lain. Di Ban Luang Nuea, tanaman mulberry juga dimanfaatkan untuk membuat salah satu jenis artwork  paper. Satu lagi sociopreneur mulberry paper membuat desa ini termasuk makmur dan mandiri. Tak heran jika community di Ban Luang Nuea merupakan salah satu CBT (Community Based on Tourism) yang cukup mandiri.

Contoh proses pengeringan mulberry paper artwork (dokumen pribadi)

            Selain mengenal dua tempat di atas, kami juga mencicipi salah satu makanan tradisional yang bernama khao khaep. Mungkin bisa dibilang seperti bubur sumsum  tipis yang bertabur wijen hitam. Makanan ini biasa dikonsumsi sebagai cemilan, dapat dimakan dalam kondisi basah ataupun yang sudah kering sepeti krupuk. Pembuatannya pun bisa dibilang masih tradisional, yakni menggunakan pawon yang berasap dan panas haha. Adonan diratakan melingkar menjadi tipis kemudian ditunggu mengering dan diangkat. Mungkin lebih tepatnya seperti membuat kue lekker. Setelah diangkat kami pun langsung berebut mencicipi jajanan tersebut. ARROY MAK !!

     Pembuatan Khaow khaep (dokumen pribadi)

Hmm baru sekitar 24 jam berada di Ban Luang Nuea, sudah banyak kesan dan pelajaran yang bisa diambil. Sebenarnya masih banyak yang ingin diceritakan. Ban Luang Nuea dan Chiang Mai bukan hanya menawarkan keindahan alam dan budaya, tapi orang-orang yang ada  di sana menjadi salah satu daya tarik tersendiri mengapa kami ingin mengenal mereka. Salam hangat dari Indonesia untuk Lanna Thai !

                

0 komentar:

Posting Komentar